"Trims banyak. 99,9% orang di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya unlucky saja."
Kalimat di atas diucapkan Paul Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun
twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap
mention seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak kunjung berprestasi setelah membaca
feature tentang Paul yang saya tulis untuk subkanal
About the Game di
detiksport ini.
Lihatlah,
dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini
setelah serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan
orang-orang Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti
Paul ini? Orang yang bodoh? Lugu? Naif? Entahlah.
Mungkin ini
yang disebut "cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947 ini
memang mencintai Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.
Andai
Paul masih menjadi warga negara Inggris, di usianya yang sudah
menginjak 66 tahun ini dia akan bisa menikmati akhir pekan yang manis.
Jika masih jadi warga negara Inggris, dia bisa menikmati tunjangan masa
tua dari pemerintah sebesar 50 poundsterling per minggu. Dengan nilai
tukar sekarang, angka itu sekitar 3 juta rupiah per bulan. Jumlah itu
belum ditambah dengan biaya transportasi dan kesehatan yang gratis serta
mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.
Dan itu semua
bisa diperolehnya dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para
pembayar pajak lainnya jika sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan
dengan 650 ribu yang diperolehnya dari usaha menyewakan
play station.
Dan
yang pasti, Paul bisa berjalan-jalan keliling London, menonton
pertandingan Liga Inggris secara langsung di stadion, atau sesekali
pergi ke Anfield untuk menonton kesebelasan Liverpool yang sangat dia
sukai. Bukan seperti sekarang yang hanya menonton Liverpool melawan
Chelsea pada kompetisi game
Winning Eleven di ruangan 2 x 3 meter di belakang rumahnya.
Dia
sendiri bukannya tak ingin untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar
menjumpai handai taulannya yang masih hidup. Tapi nyaris mustahil dia
pergi ke Inggris. Jangankan untuk berangkat ke sana, untuk sekadar
berbicara dengan saudara lewat telepon pun Paul tak sanggup. Hingga hari
ini, sudah hampir 38 tahun ia tak kembali ke Inggris.
Ia pernah
dijanjikan tiket pulang saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja,
tiket kepulangan itu bukan tiket pulang pergi ke London, tapi pulang
pergi ke Pantai Ringgung, salah satu pantai di Lampung yang memang jadi
kediamannya selama di Lampung.
Satu-satunya penyesalan untuk
kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu ibundanya.
Dia mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami di
Indonesia pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih.
Kepada sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang
pengalamannya di Indonesia.
Dan untuk satu hal ini, untuk urusan
dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Saya
melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana inginnya dia
mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari kelahirannya
yang ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk ibunya.
Tapi kado itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup
dibayarnya. Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun
Paul bisa melihat ibunya lagi.
Apakah Paul menyesal? Sama sekali
tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia mantap berkata:
"Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah menyesal jadi WNI."
Jika
pun masih ada hasrat yang tersisa, dia masih memendam keinginan untuk
menengok kembali tanah kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum
dia menutup mata untuk selama-lamanya.
**
Saya
pribadi tak ada maksud jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk
kembali mengungkit-ngungkit kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk
mangajaknya berbicara dan mengenang sepakbola Indonesia di dekade
1980-1990an. Saya harap, dengan berbincang bersama orang bule, kami bisa
bicara-bicara secara lebih terbuka.
Saya memang mendapatkan
cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi hanya
sedikit. Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat
sendiri berlangsungnya sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di
kediamannya.
Saat saya masuk, ternyata di dalam ada tamu. Saya
diam menyimak pembicaraan-pembicaraan yang ada. Tamu tersebut ternyata
sekretaris notaris yang menguruskan administasi surat-surat tanah Paul.
Perhatian saya mulai tertarik ketika melihat respons serta gesture Paul
saat mengetahui berapa nominal pajak yang meski ia bayar.
"Dua
juta yah?" katanya sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang sayangnya
saya tidak punya uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650 ribu
dari hasil rental PS, bagaimana?" katanya lagi.
Saya langsung
mengabarkan apa yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil
misi pun berubah. Editor saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul
dengan lebih detil, bukan untuk menguak-nguak cerita sedih, tapi
terutama untuk memotret bagaimana seorang "perantau sepakbola"
sepertinya punya daya tahan yang luar biasa menghadapi deraan persoalan
hidup yang seakan tiada putus.
Kisah-kisah sedih Paul memang bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Beberapa media besar seperti koran
Tempo, Kompas, majalah
Kartini dan media-media lain, baik cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah hidupnya.
Saat
kisahnya diangkat ke majalah Kartini tahun 2001 silam, banyak orang
yang ingin ingin menyalurkan bantuan dan meminta nomor rekeningnya.
"Saya tolak permintaan itu, saya bukan tipikal orang yang dengan mudah
menerima bantuan orang lain selama saya mampu berusaha," katanya.
Prinsipnya
itu dilakukan hingga sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan
menjelang kepulangan pun enggan ia terima. Setelah saya paksa dan
"ancam" baru ia mau menerimanya.
Dia punya rasa hormat yang
sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa
hormat yang ia punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira,
itulah sebabnya dia masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu
sangat baik dan ramah, saya mungkin hanya
unlucky saja".
**
Setelah
feature
saya beredar di dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon
dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak
jelas, selain karena sinyal yang menjemukkan, intonasi dan logatnya pun
aneh. Ternyata dia Paul Cumming.
Alamak, saya lupa menyimpan nomornya.
Dalam
perbincangan yang singkat itu, Paul berterima kasih dan senang dengan
respons masyarakat Indonesia terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa
ketika dia mengeluhkan ada salah satu tulisan di kolom komentar yang
bernada sinis kepadanya. Tetapi ia tak marah. "Komentar semuanya bagus,"
katanya dengan logat bahasa Inggris yang masih teramat kental.
Paul
memang masih bisa mengakses internet. Selama ini hanya akses
internetlah yang menghubungkan Paul ke dunia luar. Saling bertukar email
dengan saudara dan mantan rekan yang menggeluti dunia sepakbola.
Internet itu diaksesnya lewat laptop usang dan sebuah modem yang
sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga. Kadang dapat, kadang tidak.
Laptop itu ia beli 2010 silam semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu yang melekat di atas
keyboard
laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan barang itu memang
akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari rentalan PS
selalu ia sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara
selektif untuk menghemat pulsa.
Selain laptop, kekayaan lain yang
dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat kabar. Paul memang
apik dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren yang saya
temukan di sana, mulai dari
teamsheet final Persib Bandung versus Perseman Manokwari tahun 1986 hingga lampiran
Match Day Program klub lokal Inggris tahun 1903.
Khusus
kliping tentang dirinya sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa,
kliping-kliping yang selalu memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari
diminta deportasi oleh Solihin GP yang waktu itu menjabat Ketua Umum
Persib tahun 1985 [saat itu Persib bertemu Perseman di final Divisi
Utama Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung 2001 silam.
Ada
pelajaran hidup yang saya dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran
dan kesabaran, ia bukan tipikal orang senang menyelesaikan masalah
dengan kemarahan. Beberapa kali saya tertawa geli saat ia menceritakan
bagaimana mantan-mantan asisten dan pemainnya bersikap yang membuat ia
jengkel, mulai dari pengaturan skor, mabuk-mabukan, melakukan tindak
kriminal hingga menghamili anak orang. Semua itu diceritakannya dengan
jenaka tanpa ada dendam.
Humor seringkali menyelamatkan seseorang
dari derita yang sebenarnya tak tertanggungkan. Paul tahu benar fungsi
humor itu. Jika ada yang mengatakan bahwa humor paling berkualitas
adalah humor yang sanggup menertawakan diri sendiri, Paul adalah
masternya. Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa tidak
sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih
panjang -- setidaknya agar waras di kejiwaan?
Sepakbola adalah
hidup Paul Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia
dikecewakan berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak
mungkin dia lupakan. Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupannya.
Dia kini tak bisa lagi melatih karena cedera
tulang belakangnya membuatnya sangat berhati-hati agar tidak terjatuh
lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya yang bisa membuatnya sakit
dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter berkata padanya.
Agar tetap terhubung dengan sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental
play station adalah
salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara fiktif
sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya
pada sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya
sendiri.
Di masa mudanya, semua uang saku yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton pertandingan di hari Sabtu.
When saturday comes bukan parafrase yang klise bagi Paul muda, itu parafrase sangat menyenangkan baginya.
Di masa tuanya sekarang, dia beruntung mempunyai match day programme yang meng-
cover lebih dari 150 ribu pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu membuatnya bisa mengakses
starting-line up ribuan pertandingan, siapa yang cetak gol, menit berapa terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.
Jika anda menelusuri ocehan Paul di
twitter,
beberapa hari lalu dia sempat merespons kicauan seseorang yang berkicau
tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons begini: "Saya punya
matchday programme antara St. Kitts & Nevis lawan Oldham Athletic pada 24 Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.
Bayangkanlah
seorang tua menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data
pertandingan, tanpa suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.
"Football means everything to me.
Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul kepada saya melalui
pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian penutup tulisan
ini.
Paul memiliki mimpi lain, mimpi itu mungkin bisa saja
terwujud di bulan Juli nanti. Mimpi itu adalah bertemu tim idola:
Liverpool.
Meskipun
tinggal di London, Paul amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di
stadion-stadion elite di Inggris. Di masa mudanya awayday adalah hal
yang lazim saat ia mendukung tim lokal Hendon Aways, sebuah klub kecil
di London. Sayangnya di masa-masa itu ia tak pernah sama sekali
menyaksikan Liverpool berlaga secala langsung. Kendati begitu,
kekagumannya pada Liverpool tetap terjaga baik-baik dalam ingatan masa
mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.
Paul ingin sekali
kembali ke Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia
Juli nanti. Ia tak berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP
sama seperti saat dirinya bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes
Sawor dll. menuai kejayaan Perseman Manokwari di tahun 1985-1986.
Baginya
duduk di kursi termurah pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia
sudah putus asa, pesimis mimpinya tersebut tak akan terlaksana.
"Keinginan pasti ada, tapi dengan kondisi seperti ini, saya tak bisa.
Tak punya uang. Saya nonton dari televisi saja," lanjutnya sembari
tersenyum, dengan bola mata yang agak membesar memancarkan kejenakaan
yang agak pahit.
Saat itu juga saya kembali mengontak editor saya
di Bandung. Lewat pesan pendek, saya ceritakan mimpi Paul untuk
menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor saya tak segera
membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor saya
membalas: "Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi ke
GBK nonton Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung
nanti. Teknis kita atur kemudian."
Belakangan saya tahu, kenapa
editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi dengan
rekan kami lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul
menulis artikel secara rutin untuk
Pandit Football.
Menilik kecenderungan Paul yang enggan merepotkan orang lain,
memintanya menulis artikel adalah pilihan yang sepertinya akan jadi opsi
yang terhormat untuknya.
Saya segera menyampaikan permintaan
editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan itu. Saya
katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya,
tentang taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic,
atau esai-esai lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang
sepakbola. Apapun itu.
Setelah
feature pertama tentang Paul itu tayang di subkanal
About the Game
ini, saya menagih artikel pertama yang ditulisnya. Dia minta maaf
karena belum bisa menyelesaikan tulisan. Katanya: "Maaf, saya sudah 5
malam tidak tidur gara-gara jaga
play station. Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe …."
Saya
merasa bersalah dan sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya
sendiri jika harus menagih artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di
belakang permintaan maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul
mengatakan itu tidak dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan
bola mata bulat yang memancarkan cahaya terang yang menandakan dia
masih hidup, akan tetap hidup, setidaknya mencoba sekuatnya terus
bertahan hidup!
You’ll never walk alone, Paul!